Apakah anda tertarik dengan ilmu keperawatan?

Sabtu, 28 Agustus 2010

Benign Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

  1. Pengertian

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).

Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).

Dari kedua pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 50 tahun.

  1. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain :

a. Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .

b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron

Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma

  1. Interaksi stroma - epitel

Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

  1. Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

  1. Teori sel stem

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Purnomo, Basuki, 2003 : 70)

  1. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dari buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus - menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa :

hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli - buli.

Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot detrusor memompa urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal ( Sunaryo, H, 1999 : 11 ).

WOC (Web Of Caution)

- Teori dihidrotestosteron

- Ketidakseimbangan estrogen-testosteron

- Interaksi stroma - epitel

- Berkurangnya kematian sel prostat

- teori stem sel


Teori dihidrotestosteron

Ketidakseimbangan estrogen-testo

Interaksi stroma-epitel

Berkurangnya kematian sel prostat

Teori stem sel


BPH


Penyempitan lumen uretra prostatika

Menghambat aliran urin

Meningkatkan tekanan intravesikel

Kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika

Otot detrusor buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk memompa urin keluar

Hipertropi otot detrusor

Kompensasi terus-menerus

Detrusor lelah

Mengalami dekompensasi

Tidak mempu untuk kontraksi

Retensio urin


Pre operasi Post Operasi

- Nyeri

- Kecemasan


- Nyeri Tindakan pembedahan

- Kecemasan

- Nyeri

- Resti infeksi

- Resti kurang

volume cairan

4. Manifestasi Klinik

Sindroma protatisme dibagi dua yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif

Gejala obstruktif terdiri dari :

a. Hesistensi

Bila penderita terasa ingin kencing, urin tidak bisa segera keluar tetapi harus menunggu beberapa saat

b. Pancaran urin yang melemah dan mengecil

c. Intermittensi

d. Terasa ada sisa setelah selesai miksi

Gejala iritatif terdiri dari :

a. Urgensi

Penderita menjadi sulit menahan miksi dan bila keadaan menjadi progresif dapat terjadi keluarnya urin tanpa dapat ditahan (ngompol) walaupun yang bersangkutan belum menemukan tempat yang konvinien (urge inkontinensia).

b. Frekwensi

Frekwensi adalah miksi yang lebih sering dari biasanya. Frekwensi dapat terjadi pada malam hari disebut sebagai nokturia, dan dapat pula pada siang hari (frekwensi diurna). Biasanya nokturia lebih menonjol daripada frekwensi diurna karena pada saat tidur nilai ambang ”stretcht receptor” pada buli-buli lebih rendah dan juga penderita sendiri lebih ingat beberapa kali harus bangun untuk miksi.

c. Disuria

Gejala ini jarang didapatkan pada penderita BPH. Bila didapat gejala ini harus dipikirkan kemungkinan diagnosa lain atau telah terjadi penyulit yaitu infeksi atau terbentuk batu buli-buli sekunder karena statis urin.

Terdapat juga beberapa grade untuk menentukan/ mendiagnosis adanya BPH, yaitu :

Grade 1:

Berbulan- tahun ,mengeluh kencing tidak lampias, pancaran lemah, nocturia

Grade 2:

Disuria/panas, nocturia memberat, kadang disertai menggigil & nyeri pinggang bila terjadi infeksi

Grade 3:

Gejala memberat

Grade 4:

Vesika Urinaria penuh, colik, overflow incontinence (menetes), teraba tumor, demam 40-41°C (infeksi), menggigil, delirium, coma

  1. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain :

a. Anamnesa

Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi serta disuria. IPSS (International Prostate Symptoms Score) adalah kumpulan pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya LUTS. Keadaan klien BPH dapat ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh :

a. Skor 0 - 7 = gejala ringan.

b. Skor 8 - 19 = gejala sedang.

c. Skor 20 – 35 = gejala berat.

IPSS (INTRENATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE)

Dalam satu bulan terakhir:

Terasa sisa kencing 0 1 2 3 4 5

Seringkencing 0 1 2 3 4 5

Terputus-putus 0 1 2 3 4 5

Tidak bisa menunda 0 1 2 3 4 5

Pancaran lemah 0 1 2 3 4 5

Mengejan 0 1 2 3 4 5

Kencing malam 0 1 2 3 4 5

Total

TOTAL SCORE IPSS:

0-7 : Ringan

8-18 : Sedang

19-35 : Berat

b. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :

a. Derajat I = beratnya ± 20 gram.

b. Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

c. Derajat III = beratnya > 40 gram.

Atau dengan pemeriksaan Rectal Grading (dg RT) dapat memperkirakan berapa cm prostat menonjol dalam lumen rectum dimana Vesika Urinaria harus kosong, yaitu:

Grade 0 : 0-1 cm

1 : 1-2 cm

2 : 2-3 cm

3 : 3-4 cm

4 : ³ 4 cm

Untuk mengatahui banyaknya residu urin setelah BAK atau Buang Air Kecil dalam Vasika Urinaria (Cateter post BAK) dapat dilakukan dengan Clinical Grading, yaitu:

Normal : sisa o

Grade 1 : sisa urine 1-50 cc

Grade 2 : sisa urine 50-150 cc

Grade 3 : sisa urine > 150 cc

Grade 4 : Tidak bisa BAK atau retensi urin total

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.

d. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :

1. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.

2. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.

3. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.

e. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

1. BOF (Buik Overzich)

Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.

2. USG (Ultrasonografi)

Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.

3. IVP (Pyelografi Intravena)

Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli – buli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel. Sementara (voiding cystografi), untuk melihat adanya reflux urin. Sesudah (post evacuation), untuk melihat residual urin.

f. Pemeriksaan Panendoskop

Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli (Sunaryo, H, 1999 : 11-21).

  1. Penatalaksanaan

Modalitas terapi BPH adalah :

    1. Watchful (observasi)

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien

    1. Medikamentosa

Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi terapi pembedahan tetapi masih terdapat kontraindikasi atau belum “well motivated” Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.

Pembedahan

Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

c. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.

    1. Klien dengan residual urin > 100 ml.
    2. Klien dengan penyulit.
    3. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
    4. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :

a. Pembedahan biasa / open prostatektomi.

b. TURP.

TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit, tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan aquades atau cairan isotonik tanpa elektrolit. Prosedur ini dilakukan dengan anastesi regional ( Blok Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah. Balon dikembangkan dengan mengisi cairan garam fisiologis atau akuades sebanyak 30 – 50 ml yang digunakan sebagai tamponade daerah prostat dengan cara traksi selama 6 – 24 jam.Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga mengakibatkan stenosis buli – buli karena ischemi. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha bagian proximal atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau 24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas .Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 – 5. Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu atau dua hari setelah kateter dilepas (Doddy, M.S, 2000 : 6 ).

c. Alternatif lain (misalnya: TUIP, TUBD, Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, TUNA, Terapi Ultrasonik dan TULIP).

BAB 2

ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

Pengumpulan data

Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :

1). Identitas klien

Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki – laki. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Purnomo,B, 2003). Bisa juga terjadi pada pria berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).

2). Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH adalah nyeri karena adanya retensi urin, pasca TURP keluhan yang biasanya timbul adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli - buli.

3). Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).

4). Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.

5). Riwayat penyakit keluarga

Biasanya terjadi karena factor keturunan yaitu adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama, walaupun masih banyak factor-faktor yang menyertai.

6). Pola – pola fungsi kesehatan

    1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pasien mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yamg mengandung alkohol, kopi (diuretikum), jarang berolahraga. Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter (Marilynn. E.D, 2000 : 683).

    1. Pola nutrisi dan metabolisme

Biasanya disertai dengan anorexia, nausea, vomiting, Berat badan turun.

    1. Pola eliminasi

Pancaran urin tersendat, kencing tidak puas, nocturia, disuria, konstipasi, dostensi bladder. Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Post TURP retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)

    1. Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.

    1. Pola tidur dan istirahat

Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat

f. Pola kognitif perseptual

Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan.

g. Pola persepsi dan konsep diri

Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang penyakit, perawatan dan komplikasi pasca TURP.

h. Pola hubungan dan peran

Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.

i. Pola reproduksi seksual

Terjadi penurunan pada kemampuan seksual. Pada tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd (Sunaryo, H, 1999 : 36)

j. Pola penanggulangan stress

Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi penyakitnya.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .

7). Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :

a. Sistem pernafasan

Biasanya tidak ada gangguan sistem pernafasan selama BPH nya tidak disertai beberapa penyulit.

b. Sistem sirkulasi

Tanda-tanda vital seperti nadi, tekanan darah, biasanya cukup baik kecuali bila BPH nya telah disertai beberapa penyulit. Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.

c. Sistem neurologi

Tidak dijumpai adanya gangguan neurologi pada pasien BPH. Pasca pembedahan pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).

d. Sistem gastrointestinal

Pemeriksaan abdomen juga perlu diteliti. Bila ginjal teraba patut dicurigai adanya hidronefrosis. Bila penderita merasakan nyeri pada saat pinggang ditekan agak kuat mungkin terjadi pyelonefritis. Daerah supra simfiser akan menonjol bila penderita dalam keadaan retensio urin.

e. Sistem urogenital

Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6).

f. Sistem muskuloskaletal

Tidak ada gangguan dengan sistem muskuloskeletalnya, hanya saja adanya keterbatasan aktifitas karena pasien merasa lemah dan terpasang kateter.

8). Pemeriksaan penunjang

a). Laboratorik

Kultur urin dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Pseudomonas, dan Eschericia coli, BUN/kreatinin meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi, asam fosfat serum meningkat karena pertumbuhan seluler dan pengaruh hormonal pada kanker prostat.

b). Uroflowmetri

Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).

c). Ultrasound transrektal yaitu untuk mengetahui ukuran prostat, jumlah residu urin, melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan HPB.

d). Sistouretroskopi yaitu untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih.

e). Pemeriksaan Radiologi

:

- Intra Vena Pyelografi ( IVP )

Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol

disertai urolithiasis

Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter

-

BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal

- Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada

melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur utetra.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Berdasarkan analisa data yang diperoleh maka dapat dirumuskan diagnosa keperawatan pada klien BPH pada pre operasi sebagai berikut :

1. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat

Nyeri (akut) berhubungan dengan distensi kandung kemih

3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis

4. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah

5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan stasis

urine, pemasangan kateter.

6. Resiko tinggi gangguan harga diri berhubungan

dengan pengaruh penyakit dan tindakan terhadap

seksualitas

Sedangkan untuk diagnosa pada pasien post TURP adalah sebagai berikut :

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli : reflek spasme

otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.

2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah

berlebihan

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli

Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi .

Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP

6. Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter

pasca TURP

7. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan TURP.

III. PERENCANAAN

Diagnosa pre operasi

  1. Retensi urin (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat

Tujuan : tidak terjadi retensi urin

Kriteria Hasil : - Berkemih dalam jumlah yang cukup

- Tak teraba distensi kandung kemih

Intervensi dan Rasional

1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan

Rasional : meminimalkan retensi urin, distensi berlebihan pada kandung kemih.

2. Tanyakan pada pasien tentang inkontinensia stress

Rasional : tekanan uretral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urin secara tidak sadar

3. Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan

Rasional : untuk mengevaluasi obstruksi dan pilhan intervensi

4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis

Rasional : retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuannya untu memfilter dan mengkonsentrasi substansi.

5. Perkusi/palpasi area supra pubik

Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan di area supra pubik

6. Awasi tanda vital dengan tepat. Timbang tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran adekuat

Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

7. Dorong masukan cairan sampai 3000 ml perhari dalam toleransi jantung bila diindikasikan

8. Berikan kateter dan perawatan perineal

Rasional : menurunkan resiko infeksi asenden

9. Berikan rendam duduk sesuai indikasi

Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan meningkatkan upaya berkemih.

10. Berikan obat antispasmodik sesuai indikasi yaitu oksibutinin klorida (ditropan), supositoria rektal, antibiotik dan antibakteri

Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan iritasi oleh kateter, supositoria diabsorpsi dengan mudah melalui mukosa ke dalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi otot/menghilangkan spasme, dan antibiotik diberikan untuk melawan infeksi.

  1. Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih

Tujuan : nyeri teratasi

Kriteria Hasil : - melaporkan nyeri hilang

- klein tampak rileks

- mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat

Intervensi dan rasional

1. Observasi adanya nyeri. Perhatikan lokasi, intensitas (skala) dan lamanya

Rasional : memberikan informasi dan membantu dalan menentukan pilihan/keefektifan intervansi

2. Plester selang drainase pada paha dan keteter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan)

Rasional : mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal

3. Perhatikan tirah baring bila diindikasikan

rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selamam fase akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik

4. Berikan tindakan kenyamanan, seperti pijatan punggung, nafas dalam

Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping

5. Dorong menggunakan rendam duduk sabun hangat untuk perineum

Rasional : meningkatkan relaksasi otot

6. Berikan/masukkan keteter dan dekatkan untuk kelancaran drainase

Rasional : pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar

7. Lakukan masase prostat

Rasional: membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan kongesti/inflamasi. Kontraindikasi bila infeksi terjadi

8. Berikan obat sesuai indikasi , seperti eperidin

Rasional : menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik

  1. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pascaobstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronik

Tujuan : tidak terjadi kekurangan volume cairan

Kriteria Hasil : -mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, dan membran mukosa lembab

Intervensi dan rasional

1. Awasi keluaran dengan hati-hati tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam

Rasional : diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume cairan total, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal

2. Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu

Rasional : mengontrol gejala urunaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/hipovolemia

3.Awasi nadi, tekanan darah dengan sering

Rasional : memampukan deteksi dini/intervensi hipovolemik sistemik

4. Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi

Rasional : menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis sirkulasi

5. Awasi elektrolit, khususnya natrium

Rasional : bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraseluler, natrium dapat mengikuti perpindahan menyebabkan hiponatremia

6. Berikan cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan

Rasional : menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia.

  1. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah

Tujuan : kecemasan berkurang

Kriteria Hasil : - tampak rileks

- menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi

- melaporkan anxietas menurun

- menunjukkan penurunan rasa takut

Intervensi dan Rasional

1. Buat hubungan saling percaya dengan orang terdekat,/pasien

Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu

2. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus, dan apa yang akan terjadi, contoh kateter, urin berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan pasien

Rasional : membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan. Kelebihan informasi tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas

3. Lindungi privasi klien

Rasional : menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien

4. Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan

Rasional : mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep, dan solusi pemecahan masalah

5. Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya

Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.

Diagnosa Post Operasi

a. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.

Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.

Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan:

tanda tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.

Rencana tindakan dan rasional

1. Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.

Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-buli.

2. Pantau masukan dan haluaran cairan.

Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.

3.Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut.

Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu/berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik.

4. Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh merah terang dengan bekuan darah. Peningkatan viskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap

Rasional: mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.Rasional: menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri.

5. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.

6. Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.

Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.

7. Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema.

Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat dan peningkatan kapsul prostat dengan resiko perdarahan.

8. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit

Rasional:berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian. Dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah, KID.

9. Pertahankan traksi kateter menetap, plester kateter di bagian paha dalam.

Rasional : traksi akan membuat tekanan pada aliran darah di kapsul prostat untuk membantu mencegah / mengontrol perdarahan.

10. Kendorkan traksi dalam 6 - 24 jam. Catat periode pemasangan dan

pengendoran traksi, bila diperlukan.

Rasional: traksi lama dapat menyebabkan trauma / masalah permanen dalan mengotrol urin.

11. Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi.

Rasional : pencegahan konstipasi / mengejan untuk defekasi menurunkan resiko perdarahan rektal-perineal.

e. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.

1). Tujuan

Retensi urin teratasi.

2). Kriteria hasil

Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku peningkatan kontrol buli-buli.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.

b). Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan selama 24 jam pertama.

Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi kateter / aliran urin.

c). Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.

Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin.

d). Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.

f.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli - buli.

1). Tujuan

Infeksi dicegah.

2). Kriteria hasil

Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda infeksi.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter.

Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut.

b). Ambulasi dengan kantung drainase dependen.

Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke dalam buli - buli.

c). Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.

Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.

d). Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik berhubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi.

g. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli: reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.

1). Tujuan

Nyeri hilang / terkontrol.

2). Kriteria hasil

Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.

3). Rencana tindakan dan rasional

a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).

Rasional: nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).

4). Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.

Rasional: mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spasme buli - buli.

5). Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi.

Rasional: menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan mukosa buli - buli.

6). Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik. Dorong tehnik relaksasi termasuk latihan napas dalam, visualisasi dan pedoman imajinasi.

Rasional: menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

7). Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.

Rasional: meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).

8). Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik, contoh:

Oksibutinin klorida ( Ditropan ), B dan O supositoria.

Rasional: relaksasi otot, untuk menurunkan spasme dan nyeri.

Propanteli bromida ( Pro-Bantanin ).

Rasional: menghilangkan spasme buli-buli oleh kerja antikolinergik. Biasanya dihentikan 24-48 jam sebelum perkiraan pengangkatan kateter

untuk meningkatkan kontrol kontraksi buli-buli.

h. Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter pasca TURP.

1). Tujuan

Inkontinensia dapat teratasi

2). Kriteria hasil

Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku meningkatkan kontrol berkemih.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Kaji terjadinya tetesan urin setelah kateter diangkat.

Rasional: mendeteksi inkontinensia.

b). Bila terjadi tetesan :

(1). Katakan pada klien bahwa hal tersebut biasa dan kontinen akan pulih.

Rasional : klien harus dibesarkan harapannya bahwa itu normal

(2). Penyuluhan latihan perineal.

Rasional : bantuan uantuk pengendalian kandung kemih.

i. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan TURP.

1). Tujuan

Fungsi seksual dapat dipertahankan

2). Kriteria hasil

Klien tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Berikan keterbukaan pada klien/orang dekat untuk membicarakan tentang masalah fungsi seksual.

Rasional : klien dapat mengalami cemas karena efek bedah yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi.

b). Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.

Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur radikal : pada pendekatan lain, aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasanya selama 6 - 8 minggu.

c). Diskusikan dasar anatomi dan jujur dalam menjawab pertanyaan klien

Rasional : saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, imponten dan sterilitas biasanya tidak menjadi kosekuensi. Prosedur bedah bukan merupakan pengobatan permanen, sehingga hipertropi dapat berulang.

d). Diskusikan tentang ejakulasi retrograd.

Rasional : ejakulai retrograd tidak mempengaruhi fungsi seksual, tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urin keruh.

e). Instruksikan latihan perineal dan interupsi / kontinu aliran urin.

Rasional : meningkatkan kontrol otot kontinensia urinaria dan fungsi seksual.

f). Rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi.

Rasional : masalah menetap / tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.

j. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi.

1). Tujuan

Meningkatkan pengetahuan klien.

2). Kriteria hasil

Klien dan / atau keluarga mengungkapkan mengerti tentang rutinitas pasca operasi, gejala yang harus dilaporkan, perawatan di rumah, intruksi evaluasi serta demonstrasi ulang perawatan kateter dan latihan perineal.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Pertegas perlunya asupan cairan oral yang adekuat 3000 ml / hari kecuali kontra indikasi.

Rasional: hidrasi yang optimal membantu menegakkan kembali tonus otot buli – buli setelah pencabutan kateter dengan merngsang miksi, pengenceran urin dan menurunkan kerentanan infeksi saluran kemih dan pewmbentukan bekuan darah.

b). Ajarkan perawatan kateter :

(a). Cuci meatus urinarius dengan sabun dan air 2x / hari.

(b). Tingkatkan frekuensi pembilasan jika tampak jelas drainase di sekitar tempat pemasangan kateter.

Rasional: membantu mengurangi resiko infeksi saluran kencing.

c). Pertegas pembatasan aktivitas antara lain:

(1). Hindari mengedan saat BAB, tingkatkan asupan diit tinggi serat atau gunakan pencahar jika ada indikasi.

(2). Jangan gunakan supositoria atau enema.

(3). Hindari duduk dengan kaki tergantung.

(4). Hindari mengangkat benda berat dan aktivitas yang berat.

(5). Hindari hubungan seksual hingga diperbolehkan ( biasanya 6 - 8 minggu setelah pembedahan ).

Rasional: mengurangi resiko perdarahan internal.

d). Anjurkan klien melakukan hal berikut:

(1). Berjalan lama.

(2). Menggunakan tangga.

Rasional: aktivitas ini tidak menghalangi penyembuhan tempat pembedahan.

e). Jelaskan harapan untuk mengontrol urin ketika dicabut:

(1). Tetesan, frekuensi, urgensi mungkin terjadi pada awal tetapi secara bertahap.

(2). Latihan perineal ( bokong tegang, tahan dan lepaskan selama 10 - 20 menit tiap jam ) dapat membantu mempercepat memulihkan kontrol urin.

(3). Lakukan latihan sesuai toleransi, hindari latihan yang membutuhkan kekuatan otot dan rencanakan waktu istirahat sering.

(4). Berkemih sesegera mungkin, mencegah retensi urin.

(5). Menghindari kafein dan alkohol dapat membantu mencegah masalah.

(6). Hematuri transien adalah normal dan seharusnya menurun dengan peningkatan asupan cairan.

Rasional: Kesukaran untu melanjutkan pola miksi normal dapat berhubungan dengan trauma leher buli-buli, ISK, atau iritasi kateter. Drainase akan menurunkan kontrol otot. Kafein sebagai diuretik ringan membuatnya lebih sukar mengontrol urin. Alkohol meningkatkan sensasi terbakar.

f). Diskusikan nama obat, dosis, jadwal penggunaan, tujuan dan efek samping.

Rasional: klien mengetahui nama, dosis, jadwal, tujuan dan efek samping obat yang diresepkan.

g). Tinjau tanda dan gejala komplikasi:

(1). Ketidakmampuan berkemih lebih dari 6 jam.

(2). Menggigil, nyeri punggung dan demam.

(3). Peningkatan hematuri.

Rasional: deteksi awal memungkinkan intervensi cepat untuk meminimalkan keparahan komplikasi.

(a). Ketidakmampuan berkemih menunjukkan ISK.

(b). Merupakan gejala ISK.

(c). Adanya perdarahan.

IV. PELAKSANAAN

Tindakan keperawatan dapat diberikan secara mandiri oleh perawat, kolaborasi dengan sesama tim perawatan atau tim kesehatan lainnya maupun atas dasar rujukan dari profesi lain (Nasrul, E, 1995: 40 - 44).

Adapun tindakan yang dilakukan pada klien BPH pasca TURP disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan pada perencanaan.

V. EVALUASI

Perawatan spesifik pada klien BPH pasca TURP dievaluasi atas dasar hasil yang diharapkan dari klien, antara lain :

a. Menunjukkan pola napas efektif, tidak terjadi perdarahan yang berlebihan serta sindroma TURP.

b. Pola berkemih normal tanpa disertai infeksi atau komplikasi permanen.

c. Tidak ada pengalaman nyeri atau tekanan yang berkepanjangan.

d. Mampu menjelaskan kembali penjelasan perawat tentang pembatasan aktivitas, diit serta tanda dan gejala komplikasi. Dan memperagakan perawatan kateter serta latihan kontrol berkemih.

e. Menunjukkan penyesuaian psikososial yang disebabkan karena disfungsi seksual.