BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
- Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).
Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Dari kedua pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 50 tahun.
- Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain :
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma
- Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
- Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
- Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Purnomo, Basuki, 2003 : 70)
- Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dari buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus - menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa :
hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli - buli.
Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot detrusor memompa urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal ( Sunaryo, H, 1999 : 11 ).
WOC (Web Of Caution)
- Teori dihidrotestosteron - Ketidakseimbangan estrogen-testosteron - Interaksi stroma - epitel - Berkurangnya kematian sel prostat - teori stem sel
Teori dihidrotestosteron
Ketidakseimbangan estrogen-testo
Interaksi stroma-epitel
Berkurangnya kematian sel prostat
Teori stem sel
BPH
Penyempitan lumen uretra prostatika
Menghambat aliran urin
Meningkatkan tekanan intravesikel
Kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika
Otot detrusor buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk memompa urin keluar
Hipertropi otot detrusor
Kompensasi terus-menerus
Detrusor lelah
Mengalami dekompensasi
Tidak mempu untuk kontraksi
Retensio urin
Pre operasi Post Operasi
- Nyeri - Kecemasan
- Nyeri Tindakan pembedahan
- Kecemasan
- Nyeri - Resti infeksi - Resti kurang volume cairan
4. Manifestasi Klinik
Sindroma protatisme dibagi dua yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif
Gejala obstruktif terdiri dari :
a. Hesistensi
Bila penderita terasa ingin kencing, urin tidak bisa segera keluar tetapi harus menunggu beberapa saat
b. Pancaran urin yang melemah dan mengecil
c. Intermittensi
d. Terasa ada sisa setelah selesai miksi
Gejala iritatif terdiri dari :
a. Urgensi
Penderita menjadi sulit menahan miksi dan bila keadaan menjadi progresif dapat terjadi keluarnya urin tanpa dapat ditahan (ngompol) walaupun yang bersangkutan belum menemukan tempat yang konvinien (urge inkontinensia).
b. Frekwensi
Frekwensi adalah miksi yang lebih sering dari biasanya. Frekwensi dapat terjadi pada malam hari disebut sebagai nokturia, dan dapat pula pada siang hari (frekwensi diurna). Biasanya nokturia lebih menonjol daripada frekwensi diurna karena pada saat tidur nilai ambang ”stretcht receptor” pada buli-buli lebih rendah dan juga penderita sendiri lebih ingat beberapa kali harus bangun untuk miksi.
c. Disuria
Gejala ini jarang didapatkan pada penderita BPH. Bila didapat gejala ini harus dipikirkan kemungkinan diagnosa lain atau telah terjadi penyulit yaitu infeksi atau terbentuk batu buli-buli sekunder karena statis urin.
Terdapat juga beberapa grade untuk menentukan/ mendiagnosis adanya BPH, yaitu :
Grade 1:
Berbulan- tahun ,mengeluh kencing tidak lampias, pancaran lemah, nocturia
Grade 2:
Disuria/panas, nocturia memberat, kadang disertai menggigil & nyeri pinggang bila terjadi infeksi
Grade 3:
Gejala memberat
Grade 4:
Vesika Urinaria penuh, colik, overflow incontinence (menetes), teraba tumor, demam 40-41°C (infeksi), menggigil, delirium, coma
- Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain :
a. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi serta disuria. IPSS (International Prostate Symptoms Score) adalah kumpulan pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya LUTS. Keadaan klien BPH dapat ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh :
a. Skor 0 - 7 = gejala ringan.
b. Skor 8 - 19 = gejala sedang.
c. Skor 20 – 35 = gejala berat.
IPSS (INTRENATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE)
Dalam satu bulan terakhir:
Terasa sisa kencing 0 1 2 3 4 5
Seringkencing 0 1 2 3 4 5
Terputus-putus 0 1 2 3 4 5
Tidak bisa menunda 0 1 2 3 4 5
Pancaran lemah 0 1 2 3 4 5
Mengejan 0 1 2 3 4 5
Kencing malam 0 1 2 3 4 5
Total
TOTAL SCORE IPSS:
0-7 : Ringan
8-18 : Sedang
19-35 : Berat
b. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a. Derajat I = beratnya ± 20 gram.
b. Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c. Derajat III = beratnya > 40 gram.
Atau dengan pemeriksaan Rectal Grading (dg RT) dapat memperkirakan berapa cm prostat menonjol dalam lumen rectum dimana Vesika Urinaria harus kosong, yaitu:
Grade 0 : 0-1 cm
1 : 1-2 cm
2 : 2-3 cm
3 : 3-4 cm
4 : ³ 4 cm
Untuk mengatahui banyaknya residu urin setelah BAK atau Buang Air Kecil dalam Vasika Urinaria (Cateter post BAK) dapat dilakukan dengan Clinical Grading, yaitu:
Normal : sisa o
Grade 1 : sisa urine 1-50 cc
Grade 2 : sisa urine 50-150 cc
Grade 3 : sisa urine > 150 cc
Grade 4 : Tidak bisa BAK atau retensi urin total
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
d. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
1. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
2. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
3. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
e. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1. BOF (Buik Overzich)
Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
2. USG (Ultrasonografi)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
3. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli – buli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel. Sementara (voiding cystografi), untuk melihat adanya reflux urin. Sesudah (post evacuation), untuk melihat residual urin.
f. Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli (Sunaryo, H, 1999 : 11-21).
- Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
- Watchful (observasi)
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
- Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi terapi pembedahan tetapi masih terdapat kontraindikasi atau belum “well motivated” Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
c. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
- Klien dengan residual urin > 100 ml.
- Klien dengan penyulit.
- Terapi medikamentosa tidak berhasil.
- Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a. Pembedahan biasa / open prostatektomi.
b. TURP.
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit, tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan aquades atau cairan isotonik tanpa elektrolit. Prosedur ini dilakukan dengan anastesi regional ( Blok Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah. Balon dikembangkan dengan mengisi cairan garam fisiologis atau akuades sebanyak 30 – 50 ml yang digunakan sebagai tamponade daerah prostat dengan cara traksi selama 6 – 24 jam.Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga mengakibatkan stenosis buli – buli karena ischemi. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha bagian proximal atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau 24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas .Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 – 5. Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu atau dua hari setelah kateter dilepas (Doddy, M.S, 2000 : 6 ).
c. Alternatif lain (misalnya: TUIP, TUBD, Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, TUNA, Terapi Ultrasonik dan TULIP).
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
1). Identitas klien
Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki – laki. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Purnomo,B, 2003). Bisa juga terjadi pada pria berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
2). Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH adalah nyeri karena adanya retensi urin, pasca TURP keluhan yang biasanya timbul adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli - buli.
3). Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
4). Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.
5). Riwayat penyakit keluarga
Biasanya terjadi karena factor keturunan yaitu adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama, walaupun masih banyak factor-faktor yang menyertai.
6). Pola – pola fungsi kesehatan
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pasien mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yamg mengandung alkohol, kopi (diuretikum), jarang berolahraga. Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
- Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya disertai dengan anorexia, nausea, vomiting, Berat badan turun.
- Pola eliminasi
Pancaran urin tersendat, kencing tidak puas, nocturia, disuria, konstipasi, dostensi bladder. Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Post TURP retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
- Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
- Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat
f. Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang penyakit, perawatan dan komplikasi pasca TURP.
h. Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.
i. Pola reproduksi seksual
Terjadi penurunan pada kemampuan seksual. Pada tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd (Sunaryo, H, 1999 : 36)
j. Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi penyakitnya.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .
7). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
a. Sistem pernafasan
Biasanya tidak ada gangguan sistem pernafasan selama BPH nya tidak disertai beberapa penyulit.
b. Sistem sirkulasi
Tanda-tanda vital seperti nadi, tekanan darah, biasanya cukup baik kecuali bila BPH nya telah disertai beberapa penyulit. Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
c. Sistem neurologi
Tidak dijumpai adanya gangguan neurologi pada pasien BPH. Pasca pembedahan pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
d. Sistem gastrointestinal
Pemeriksaan abdomen juga perlu diteliti. Bila ginjal teraba patut dicurigai adanya hidronefrosis. Bila penderita merasakan nyeri pada saat pinggang ditekan agak kuat mungkin terjadi pyelonefritis. Daerah supra simfiser akan menonjol bila penderita dalam keadaan retensio urin.
e. Sistem urogenital
Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
f. Sistem muskuloskaletal
Tidak ada gangguan dengan sistem muskuloskeletalnya, hanya saja adanya keterbatasan aktifitas karena pasien merasa lemah dan terpasang kateter.
8). Pemeriksaan penunjang
a). Laboratorik
Kultur urin dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Pseudomonas, dan Eschericia coli, BUN/kreatinin meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi, asam fosfat serum meningkat karena pertumbuhan seluler dan pengaruh hormonal pada kanker prostat.
b). Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
c). Ultrasound transrektal yaitu untuk mengetahui ukuran prostat, jumlah residu urin, melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan HPB.
d). Sistouretroskopi yaitu untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih.
e). Pemeriksaan Radiologi
:
- Intra Vena Pyelografi ( IVP )
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol
disertai urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
-
BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
- Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada
melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur utetra.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan analisa data yang diperoleh maka dapat dirumuskan diagnosa keperawatan pada klien BPH pada pre operasi sebagai berikut :
1. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat
Nyeri (akut) berhubungan dengan distensi kandung kemih
3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis
4. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan stasis
urine, pemasangan kateter.
6. Resiko tinggi gangguan harga diri berhubungan
dengan pengaruh penyakit dan tindakan terhadap
seksualitas
Sedangkan untuk diagnosa pada pasien post TURP adalah sebagai berikut :
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli : reflek spasme
otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah
berlebihan
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi .
Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP
6. Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter
pasca TURP
7. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan TURP.
III. PERENCANAAN
Diagnosa pre operasi
- Retensi urin (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat
Tujuan : tidak terjadi retensi urin
Kriteria Hasil : - Berkemih dalam jumlah yang cukup
- Tak teraba distensi kandung kemih
Intervensi dan Rasional
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin, distensi berlebihan pada kandung kemih.
2. Tanyakan pada pasien tentang inkontinensia stress
Rasional : tekanan uretral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urin secara tidak sadar
3. Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional : untuk mengevaluasi obstruksi dan pilhan intervensi
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis
Rasional : retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuannya untu memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
5. Perkusi/palpasi area supra pubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan di area supra pubik
6. Awasi tanda vital dengan tepat. Timbang tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran adekuat
Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
7. Dorong masukan cairan sampai 3000 ml perhari dalam toleransi jantung bila diindikasikan
8. Berikan kateter dan perawatan perineal
Rasional : menurunkan resiko infeksi asenden
9. Berikan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan meningkatkan upaya berkemih.
10. Berikan obat antispasmodik sesuai indikasi yaitu oksibutinin klorida (ditropan), supositoria rektal, antibiotik dan antibakteri
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan iritasi oleh kateter, supositoria diabsorpsi dengan mudah melalui mukosa ke dalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi otot/menghilangkan spasme, dan antibiotik diberikan untuk melawan infeksi.
- Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih
Tujuan : nyeri teratasi
Kriteria Hasil : - melaporkan nyeri hilang
- klein tampak rileks
- mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat
Intervensi dan rasional
1. Observasi adanya nyeri. Perhatikan lokasi, intensitas (skala) dan lamanya
Rasional : memberikan informasi dan membantu dalan menentukan pilihan/keefektifan intervansi
2. Plester selang drainase pada paha dan keteter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan)
Rasional : mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal
3. Perhatikan tirah baring bila diindikasikan
rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selamam fase akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
4. Berikan tindakan kenyamanan, seperti pijatan punggung, nafas dalam
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
5. Dorong menggunakan rendam duduk sabun hangat untuk perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
6. Berikan/masukkan keteter dan dekatkan untuk kelancaran drainase
Rasional : pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar
7. Lakukan masase prostat
Rasional: membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan kongesti/inflamasi. Kontraindikasi bila infeksi terjadi
8. Berikan obat sesuai indikasi , seperti eperidin
Rasional : menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik
- Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pascaobstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronik
Tujuan : tidak terjadi kekurangan volume cairan
Kriteria Hasil : -mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, dan membran mukosa lembab
Intervensi dan rasional
1. Awasi keluaran dengan hati-hati tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam
Rasional : diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume cairan total, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal
2. Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu
Rasional : mengontrol gejala urunaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/hipovolemia
3.Awasi nadi, tekanan darah dengan sering
Rasional : memampukan deteksi dini/intervensi hipovolemik sistemik
4. Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
Rasional : menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis sirkulasi
5. Awasi elektrolit, khususnya natrium
Rasional : bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraseluler, natrium dapat mengikuti perpindahan menyebabkan hiponatremia
6. Berikan cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan
Rasional : menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia.
- Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah
Tujuan : kecemasan berkurang
Kriteria Hasil : - tampak rileks
- menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
- melaporkan anxietas menurun
- menunjukkan penurunan rasa takut
Intervensi dan Rasional
1. Buat hubungan saling percaya dengan orang terdekat,/pasien
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu
2. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus, dan apa yang akan terjadi, contoh kateter, urin berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan pasien
Rasional : membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan. Kelebihan informasi tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas
3. Lindungi privasi klien
Rasional : menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien
4. Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional : mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep, dan solusi pemecahan masalah
5. Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
Diagnosa Post Operasi
a. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan:
tanda tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1. Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-buli.
2. Pantau masukan dan haluaran cairan.
Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3.Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut.
Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu/berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik.
4. Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh merah terang dengan bekuan darah. Peningkatan viskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap
Rasional: mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.Rasional: menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri.
5. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.
6. Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.
Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.
7. Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema.
Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat dan peningkatan kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
8. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit
Rasional:berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian. Dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah, KID.
9. Pertahankan traksi kateter menetap, plester kateter di bagian paha dalam.
Rasional : traksi akan membuat tekanan pada aliran darah di kapsul prostat untuk membantu mencegah / mengontrol perdarahan.
10. Kendorkan traksi dalam 6 - 24 jam. Catat periode pemasangan dan
pengendoran traksi, bila diperlukan.
Rasional: traksi lama dapat menyebabkan trauma / masalah permanen dalan mengotrol urin.
11. Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi.
Rasional : pencegahan konstipasi / mengejan untuk defekasi menurunkan resiko perdarahan rektal-perineal.
e. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.
1). Tujuan
Retensi urin teratasi.
2). Kriteria hasil
Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku peningkatan kontrol buli-buli.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.
b). Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan selama 24 jam pertama.
Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi kateter / aliran urin.
c). Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.
Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin.
d). Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.
f.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli - buli.
1). Tujuan
Infeksi dicegah.
2). Kriteria hasil
Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda infeksi.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter.
Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut.
b). Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke dalam buli - buli.
c). Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.
Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.
d). Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik berhubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi.
g. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli: reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
1). Tujuan
Nyeri hilang / terkontrol.
2). Kriteria hasil
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
Rasional: nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).
4). Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
Rasional: mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spasme buli - buli.
5). Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi.
Rasional: menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan mukosa buli - buli.
6). Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik. Dorong tehnik relaksasi termasuk latihan napas dalam, visualisasi dan pedoman imajinasi.
Rasional: menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7). Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
Rasional: meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).
8). Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik, contoh:
Oksibutinin klorida ( Ditropan ), B dan O supositoria.
Rasional: relaksasi otot, untuk menurunkan spasme dan nyeri.
Propanteli bromida ( Pro-Bantanin ).
Rasional: menghilangkan spasme buli-buli oleh kerja antikolinergik. Biasanya dihentikan 24-48 jam sebelum perkiraan pengangkatan kateter
untuk meningkatkan kontrol kontraksi buli-buli.
h. Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter pasca TURP.
1). Tujuan
Inkontinensia dapat teratasi
2). Kriteria hasil
Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku meningkatkan kontrol berkemih.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Kaji terjadinya tetesan urin setelah kateter diangkat.
Rasional: mendeteksi inkontinensia.
b). Bila terjadi tetesan :
(1). Katakan pada klien bahwa hal tersebut biasa dan kontinen akan pulih.
Rasional : klien harus dibesarkan harapannya bahwa itu normal
(2). Penyuluhan latihan perineal.
Rasional : bantuan uantuk pengendalian kandung kemih.
i. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan TURP.
1). Tujuan
Fungsi seksual dapat dipertahankan
2). Kriteria hasil
Klien tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Berikan keterbukaan pada klien/orang dekat untuk membicarakan tentang masalah fungsi seksual.
Rasional : klien dapat mengalami cemas karena efek bedah yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi.
b). Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur radikal : pada pendekatan lain, aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasanya selama 6 - 8 minggu.
c). Diskusikan dasar anatomi dan jujur dalam menjawab pertanyaan klien
Rasional : saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, imponten dan sterilitas biasanya tidak menjadi kosekuensi. Prosedur bedah bukan merupakan pengobatan permanen, sehingga hipertropi dapat berulang.
d). Diskusikan tentang ejakulasi retrograd.
Rasional : ejakulai retrograd tidak mempengaruhi fungsi seksual, tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urin keruh.
e). Instruksikan latihan perineal dan interupsi / kontinu aliran urin.
Rasional : meningkatkan kontrol otot kontinensia urinaria dan fungsi seksual.
f). Rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi.
Rasional : masalah menetap / tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
j. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi.
1). Tujuan
Meningkatkan pengetahuan klien.
2). Kriteria hasil
Klien dan / atau keluarga mengungkapkan mengerti tentang rutinitas pasca operasi, gejala yang harus dilaporkan, perawatan di rumah, intruksi evaluasi serta demonstrasi ulang perawatan kateter dan latihan perineal.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Pertegas perlunya asupan cairan oral yang adekuat 3000 ml / hari kecuali kontra indikasi.
Rasional: hidrasi yang optimal membantu menegakkan kembali tonus otot buli – buli setelah pencabutan kateter dengan merngsang miksi, pengenceran urin dan menurunkan kerentanan infeksi saluran kemih dan pewmbentukan bekuan darah.
b). Ajarkan perawatan kateter :
(a). Cuci meatus urinarius dengan sabun dan air 2x / hari.
(b). Tingkatkan frekuensi pembilasan jika tampak jelas drainase di sekitar tempat pemasangan kateter.
Rasional: membantu mengurangi resiko infeksi saluran kencing.
c). Pertegas pembatasan aktivitas antara lain:
(1). Hindari mengedan saat BAB, tingkatkan asupan diit tinggi serat atau gunakan pencahar jika ada indikasi.
(2). Jangan gunakan supositoria atau enema.
(3). Hindari duduk dengan kaki tergantung.
(4). Hindari mengangkat benda berat dan aktivitas yang berat.
(5). Hindari hubungan seksual hingga diperbolehkan ( biasanya 6 - 8 minggu setelah pembedahan ).
Rasional: mengurangi resiko perdarahan internal.
d). Anjurkan klien melakukan hal berikut:
(1). Berjalan lama.
(2). Menggunakan tangga.
Rasional: aktivitas ini tidak menghalangi penyembuhan tempat pembedahan.
e). Jelaskan harapan untuk mengontrol urin ketika dicabut:
(1). Tetesan, frekuensi, urgensi mungkin terjadi pada awal tetapi secara bertahap.
(2). Latihan perineal ( bokong tegang, tahan dan lepaskan selama 10 - 20 menit tiap jam ) dapat membantu mempercepat memulihkan kontrol urin.
(3). Lakukan latihan sesuai toleransi, hindari latihan yang membutuhkan kekuatan otot dan rencanakan waktu istirahat sering.
(4). Berkemih sesegera mungkin, mencegah retensi urin.
(5). Menghindari kafein dan alkohol dapat membantu mencegah masalah.
(6). Hematuri transien adalah normal dan seharusnya menurun dengan peningkatan asupan cairan.
Rasional: Kesukaran untu melanjutkan pola miksi normal dapat berhubungan dengan trauma leher buli-buli, ISK, atau iritasi kateter. Drainase akan menurunkan kontrol otot. Kafein sebagai diuretik ringan membuatnya lebih sukar mengontrol urin. Alkohol meningkatkan sensasi terbakar.
f). Diskusikan nama obat, dosis, jadwal penggunaan, tujuan dan efek samping.
Rasional: klien mengetahui nama, dosis, jadwal, tujuan dan efek samping obat yang diresepkan.
g). Tinjau tanda dan gejala komplikasi:
(1). Ketidakmampuan berkemih lebih dari 6 jam.
(2). Menggigil, nyeri punggung dan demam.
(3). Peningkatan hematuri.
Rasional: deteksi awal memungkinkan intervensi cepat untuk meminimalkan keparahan komplikasi.
(a). Ketidakmampuan berkemih menunjukkan ISK.
(b). Merupakan gejala ISK.
(c). Adanya perdarahan.
IV. PELAKSANAAN
Tindakan keperawatan dapat diberikan secara mandiri oleh perawat, kolaborasi dengan sesama tim perawatan atau tim kesehatan lainnya maupun atas dasar rujukan dari profesi lain (Nasrul, E, 1995: 40 - 44).
Adapun tindakan yang dilakukan pada klien BPH pasca TURP disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan pada perencanaan.
V. EVALUASI
Perawatan spesifik pada klien BPH pasca TURP dievaluasi atas dasar hasil yang diharapkan dari klien, antara lain :
a. Menunjukkan pola napas efektif, tidak terjadi perdarahan yang berlebihan serta sindroma TURP.
b. Pola berkemih normal tanpa disertai infeksi atau komplikasi permanen.
c. Tidak ada pengalaman nyeri atau tekanan yang berkepanjangan.
d. Mampu menjelaskan kembali penjelasan perawat tentang pembatasan aktivitas, diit serta tanda dan gejala komplikasi. Dan memperagakan perawatan kateter serta latihan kontrol berkemih.
e. Menunjukkan penyesuaian psikososial yang disebabkan karena disfungsi seksual.